Olimpiade selalu identik dengan peluh, semangat, dan persaingan. Tapi kalau kita gali ke belakang, sejarahnya ternyata jauh lebih eksentrik dari yang dibayangkan. Di balik kehebatan atletik dan nasionalisme yang membara, ada masa-masa ketika Olimpiade justru terasa seperti pameran ide-ide absurd dan terkadang menghibur.
Ambil contoh Olimpiade Paris 1900. Edisi ini benar-benar “liar”. Tidak hanya karena cabang olahraga aneh seperti lompat tinggi dengan kuda atau renang rintangan di Sungai Seine, tapi juga karena aturan pertandingan yang tidak ada yang benar-benar tahu. Banyak atlet bahkan tidak sadar mereka sedang bertanding di Olimpiade!
Yang lebih mengejutkan, antara 1912 hingga 1948, Olimpiade juga memberi medali emas untuk seni. Ya, seni. Mulai dari lukisan, patung, musik, sastra hingga arsitektur. Syaratnya satu: karya seni itu harus bertema olahraga. Pendiri Olimpiade modern, Pierre de Coubertin, percaya bahwa tubuh dan pikiran harus dirayakan bersama. Bahkan, ia sendiri pernah ikut lomba puisi dan menang medali emas dengan nama samaran.
Tapi seiring waktu, batas antara amatir dan profesional mulai kabur, dan karena seniman dianggap “profesional”, kompetisi seni akhirnya dicoret dari Olimpiade. Sayang juga, karena siapa yang tidak ingin melihat seorang pelukis bertanding melawan penulis haiku bertema bulu tangkis?
Di sisi lain, beberapa cabang benar-benar tak masuk akal sejak awal. Seperti plunge for distance, di mana peserta hanya perlu menyelam dan meluncur diam sejauh mungkin di dalam air. Tanpa gerakan. Tanpa teknik. Mirip anak kecil yang iseng main di kolam renang. Atau pistol dueling di tahun 1912, di mana peserta menembak manekin berdasi formal dengan target di dada. Gagah? Mungkin. Tapi tetap aneh.
Yang menarik, beberapa ide lama kini malah relevan kembali. Olimpiade modern mulai terbuka dengan olahraga urban seperti skateboard dan breakdance cabang yang dulunya dianggap tak “serius”, kini jadi daya tarik utama bagi generasi muda. Mungkin suatu hari nanti, e-sports atau konten kreatif akan punya tempat resmi di panggung Olimpiade.
Sejarah Olimpiade membuktikan bahwa ajang ini bukan sekadar soal kuat dan cepat. Ini juga tentang eksperimen budaya, perubahan zaman, dan sesekali kenekatan. Dan siapa tahu? Mungkin di masa depan, pemenang lomba komedi bertema olahraga juga bisa berdiri di podium, medali emas di leher, dengan mikrofon di tangan.