Kenapa Bahasa Jawa Punya Tiga Tingkatan yang Berbeda?

Bahasa Jawa
Aksara Bahasa Jawa, Foto; STKIP PGRI Ponorogo

Kalau kamu pernah dengar orang Jawa ngobrol, pasti sadar kalau cara mereka bicara bahasa Jawa bisa beda-beda tergantung siapa lawan bicaranya. Kadang santai banget, kadang terdengar super sopan. 

Nah, itu karena bahasa Jawa punya tiga tingkatan atau yang biasa disebut dengan stratifikasi bahasa: Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil.

Bahasa Jawa: Satu Bahasa, Tiga Gaya

Bahasa Jawa itu unik. Satu kata bisa punya tiga versi tergantung tingkat kesopanannya. Misalnya, kata “saya” dalam bahasa Jawa bisa jadi “aku” (Ngoko), “kula” (Krama), atau “dalem” (Krama Inggil). 

Bahkan akhiran “-nya” pun bisa berubah dari “-e” di Ngoko jadi “-ipun” di Krama Inggil. Perbedaan ini muncul tergantung situasi dan kepada siapa kamu bicara.

Ngoko dipakai buat ngobrol sehari-hari sama teman sebaya atau orang yang udah akrab. Krama biasanya dipakai untuk menunjukkan rasa hormat, seperti ke orang tua. 

Nah, kalau Krama Inggil, itu versi yang super sopan dan biasanya dipakai ke orang-orang yang sangat dihormati, seperti pejabat atau tokoh masyarakat.

Awal Mula: Dari Bahasa Jawa Kuno ke Bahasa Jawa Baru

Zaman dulu, bahasa Jawa belum kenal istilah stratifikasi ini. Bahasa Jawa Kuno yang muncul sekitar abad ke-9 hanya punya satu versi. 

Tapi seiring waktu, muncul pengaruh dari budaya luar, seperti pengaruh dari bahasa Sansekerta dan Melayu, yang masuk lewat jalur sastra dan agama.

Sekitar abad ke-13 sampai ke-15, muncul bahasa Jawa Pertengahan. Waktu itu, para sastrawan mulai menulis cerita rakyat seperti Sritanjung dan Panji Gumirang dengan gaya bahasa yang lebih sederhana. 

Lalu pada abad ke-16 dan 17, di masa Kerajaan Mataram Islam, barulah mulai muncul pembagian bahasa jadi Ngoko, Krama, dan Krama Inggil.

Peran Politik dan Budaya

Menurut para ahli seperti Benedict Anderson, pembagian ini nggak lepas dari pengaruh politik. Di masa itu, kerajaan-kerajaan Jawa lagi dalam masa sulit dan mulai tunduk pada kekuasaan kolonial. 

Tapi untuk tetap menjaga wibawa di mata rakyat, para bangsawan dan pujangga keraton menciptakan suasana mistis lewat karya sastra. Bahasa pun jadi alat untuk menunjukkan kelas sosial.

Bahasa Krama dan Krama Inggil dipenuhi istilah dari Sansekerta dan dianggap lebih “tinggi”. Sedangkan Ngoko tetap digunakan oleh masyarakat umum. Stratifikasi ini jadi cara halus buat menunjukkan siapa yang berada di atas dan siapa yang di bawah dalam struktur sosial.

Masa Kini dan Masa Depan Bahasa Jawa

Saat ini, banyak orang Jawa justru lebih familiar dengan bahasa Ngoko. Bahasa Krama dan Krama Inggil mulai jarang digunakan, apalagi di kota. 

Bahkan ada komunitas seperti Sedulur Sikep (Samin) yang memilih hanya menggunakan Ngoko sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur sosial yang dianggap membeda-bedakan.

Bahasa Jawa juga terus beradaptasi. Misalnya, di masa Perang Kemerdekaan, muncul bahasa Jawa “walikan” yang membalik kata-kata buat menghindari intai musuh. Contohnya “Mas” jadi “Dab”. Seru, kan?

Jadi, gimana nasib bahasa Jawa ke depannya? Akankah Krama dan Krama Inggil terus bertahan atau justru hilang tergantikan bentuk baru seperti “walikan” atau campuran dengan bahasa Indonesia? 

Semua tergantung kamu dan generasi sekarang yang jadi penuturnya.