Review Film AADC 2 yang Bikin Nostalgia

Film AADC 2
Review Film AADC 2 yang Bikin Nostalgia, Foto: PESONA

Kalau kamu pernah jadi remaja di era 2000-an, pasti nggak asing sama film legendaris Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC. Film yang pertama kali tayang tahun 2002 ini sukses banget menyentuh hati banyak orang, apalagi para remaja. 

Ceritanya sederhana tapi relate banget sama kehidupan sehari-hari, mulai dari gaya, perasaan, sampai lika-liku masa muda. Makanya, film ini dianggap salah satu karya terbaik perfilman Indonesia dan pernah menang Piala Citra 2004.

AADC 2: Sekuel yang Ditunggu-tunggu

Setelah 14 tahun lamanya, sekuel AADC akhirnya hadir lagi di layar lebar pada 28 April 2016. Film ini masih dibintangi tokoh-tokoh yang sama, tapi tentu dengan cerita yang lebih dewasa. 

Kalau di film pertama cerita lebih fokus pada kisah cinta remaja yang manis dan realistis, AADC 2 mengangkat perjuangan cinta yang lebih serius antara Cinta dan Rangga, yang kini terpisah jarak karena Rangga harus tinggal di New York. Cinta pun rela ninggalin tunangannya demi mengejar cintanya ke negeri orang.

Film ini nggak hanya mengulang romansa mereka, tapi juga menampilkan momen-momen puitis lewat puisi yang ditulis untuk mengekspresikan perasaan Rangga, salah satunya karya penyair M. Aan Mansyur.

Kesuksesan dan Tantangan Moral

Dalam waktu kurang dari tiga minggu setelah rilis, AADC 2 sudah ditonton lebih dari 2 juta orang di seluruh Indonesia, bahkan film ini jadi jawara box office tahun 2016. Kesuksesan ini juga dirasakan di beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei.

Tapi di balik kesuksesan itu, film ini sempat menuai kritik. Beberapa kalangan menganggap ada adegan ciuman yang dianggap cukup “berani” untuk ukuran film yang ditujukan untuk usia 13 tahun ke atas. 

Beberapa pihak merasa kurang tepat jika anak-anak dan remaja yang masih muda bebas menonton adegan seperti itu tanpa batasan usia yang ketat.

Kalau kamu lihat, banyak banget penonton muda yang masih SMP bahkan SD yang ikut nonton rame-rame, kadang juga bawa pacar. 

Hal ini bikin beberapa orang tua dan pengamat film bertanya-tanya soal pengaruh film ini terhadap moral anak muda zaman sekarang. Apakah ini jadi tanda bahwa pengawasan dan pendidikan moral perlu diperkuat?

Kebebasan Seni dan Batasan Moral

Sutradara Riri Riza pernah bilang kalau seni itu butuh kebebasan untuk berekspresi. Kalau kebebasan ini dibatasi terus, kreativitas bisa jadi terhambat. 

Tapi, di sisi lain, tentu harus ada aturan main yang jelas supaya karya seni juga nggak melanggar norma dan nilai yang ada di masyarakat.

Masalahnya, film-film yang membawa pesan positif seperti nilai sejarah, pendidikan, atau religi justru jarang diminati. Sementara film dengan tema percintaan yang “berani” selalu jadi favorit penonton dan laris di pasaran. 

Ini jadi dilema tersendiri karena hiburan yang edukatif jadi kalah saing, padahal kita semua tahu pentingnya tontonan yang juga mendidik.

Penonton dan Tanggung Jawab Bersama

Jadi, sebenarnya masalah moral anak muda bukan cuma tanggung jawab orang tua atau sekolah saja, tapi juga pengelola film, bioskop, dan tentu penonton sendiri. 

Kalau ada aturan usia untuk menonton film tertentu, sebaiknya itu ditegakkan supaya sesuai dengan tingkat kematangan penonton.

Film AADC 2 memang berhasil menjadi hiburan yang menghibur sekaligus bikin baper. Namun, tetap perlu kita lihat dari sisi dampak sosialnya agar nggak jadi pemicu masalah moral. 

Semoga kedepannya perfilman Indonesia bisa lebih berimbang antara kebebasan berkarya dan menjaga nilai-nilai moral masyarakat ya!