Kalau biasanya orang tidur 7–8 jam penuh di malam hari, ada juga lho yang mencoba pola tidur berbeda bernama polyphasic sleep. Pola tidur ini membagi waktu tidur jadi beberapa sesi singkat dalam sehari, bukan hanya sekali di malam hari.
Katanya sih, cara ini bisa bikin kamu lebih produktif dan punya waktu lebih banyak untuk beraktivitas. Tapi, bener nggak sih begitu? Yuk, kita bahas sama-sama!
Apa Itu Tidur Polyphasic?
Tidur polyphasic adalah kebiasaan tidur dengan membagi waktu istirahat jadi beberapa kali dalam sehari. Misalnya, kamu nggak tidur 7 jam penuh di malam hari, tapi tidur 3–4 jam saja, lalu ditambah tidur singkat (nap) beberapa kali di siang atau sore.
Ada beberapa variasi pola polyphasic yang populer, misalnya:
- Everyman: Tidur inti sekitar 3–4 jam di malam hari + 2–3 kali tidur singkat 20–30 menit.
- Uberman: Hanya tidur sekitar 20–30 menit setiap 4 jam sekali. Jadi total tidur cuma 2–3 jam per hari.
- Dymaxion: Mirip Uberman, tapi tidur 30 menit setiap 6 jam.
Kedengarannya ekstrem, ya? Tapi banyak orang penasaran mencoba pola ini karena katanya bisa menambah jam produktif dalam sehari.
Kenapa Banyak yang Tertarik Mencoba?
Alasan utama orang mencoba tidur polyphasic tentu karena ingin lebih produktif. Bayangin aja, kalau biasanya kamu tidur 8 jam, lalu “dipotong” jadi hanya 3–5 jam sehari, berarti ada tambahan 3–5 jam yang bisa dipakai buat kerja, belajar, atau aktivitas lain.
Selain itu, ada juga yang bilang pola tidur ini bisa bikin kamu lebih cepat masuk ke fase tidur dalam (deep sleep) karena tubuh “terlatih” memaksimalkan waktu istirahat singkat. Jadi, walaupun tidur cuma sebentar, kualitasnya bisa tetap bagus.
Benarkah Bisa Lebih Produktif?
Nah, ini yang sering jadi perdebatan. Memang benar, beberapa orang merasa lebih produktif karena punya waktu ekstra. Tapi, nggak semua orang cocok dengan pola tidur polyphasic.
Tubuh manusia secara alami mengikuti ritme sirkadian (jam biologis alami) yang biasanya sinkron dengan siklus siang-malam.
Kalau kamu memaksa tubuh tidur dengan pola yang “tidak biasa”, bisa jadi tubuhmu butuh waktu lama untuk menyesuaikan. Hasilnya? Bisa-bisa malah jadi gampang ngantuk, sulit fokus, bahkan mood jadi gampang turun.
Beberapa penelitian juga menunjukkan kalau kurang tidur jangka panjang bisa berdampak negatif pada kesehatan, seperti menurunnya daya ingat, imunitas tubuh melemah, dan risiko stres meningkat.
Jadi, walaupun pola polyphasic terdengar menarik, belum tentu cocok buat semua orang.
Apakah Aman Dicoba?
Tidur polyphasic sebenarnya nggak berbahaya kalau dilakukan jangka pendek untuk tujuan tertentu. Misalnya, astronot, pelaut, atau pekerja shift yang memang perlu mengatur waktu tidur mereka agar tetap bisa berfungsi dengan baik.
Tapi, untuk kehidupan sehari-hari, pola tidur monophasic (sekali tidur panjang di malam hari) atau biphasic (malam tidur + siesta siang) biasanya jauh lebih sehat dan alami.
Kalau kamu tetap penasaran, sebaiknya coba dengan cara yang nggak terlalu ekstrem, misalnya pola Everyman.
Tapi jangan lupa, selalu dengarkan sinyal tubuh. Kalau kamu merasa lelah berlebihan, sulit fokus, atau malah gampang sakit, itu tandanya tubuhmu nggak cocok.
Tidur dengan pola polyphasic memang terdengar keren dan menjanjikan waktu produktif lebih banyak. Tapi, nggak semua orang bisa cocok dengan pola ini.
Untuk kebanyakan orang, tidur 7–8 jam di malam hari masih jadi cara terbaik menjaga kesehatan, mood, dan fokus.
Kalau kamu mau coba, pastikan tetap mendengarkan kebutuhan tubuh. Karena pada akhirnya, tidur berkualitas lebih penting daripada sekadar menambah jam terjaga.