Riset mengungkap bahwa iklim yang membuat cuaca panas dan kering memberikan pengaruh pada kemampuan melompat katak dan kodok. Penelitian tersebut menunjukkkan gambaran yang mengkhawatirkan bagi masa depan planet ini jika terus memanas.
Hasil studi yang telah dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society B ini menemukan saat katak dan katak kehilangan air, mereka tak bisa melompat. Kesimpulan tersebut didapat setelah peneliti melakukan analisis terhadap tiga spesies amfibi atau katak, seperti dikutip dari IFL Science, Minggu (21/2/2021).
Ketiga spesies katak dalam studi dampak iklim yang makin hangat itu adalah katak ekor pantai (Ascaphus truei), kodok kaki sekop (Spea intermontana) dan katak pohon Pasifik (Pseudacris regilla).
Ketiga hewan tersebut memiliki keunikan di habitatnya. Katak ekor pantai menyukai aliran air dingin sementara kodok kaki sekop betah tinggal di gurun dan katak pohon pasifik adalah jenis katak pengembara.
Hewan-hewan tersebut disimpan ke dalam tangki dengan kondisi terkontrol, sehingga para peneliti dapat menentukan suhu tubuh katak dan tingkat dehidrasi.
Ketiganya mampu mempertahankan mobilitas mereka. Namun terjadi penurunan drastis ketika mereka kehilangan sekitar 20 persen berat badan akibat dehidrasi.
Saat itulah, ketiganya mulai melompat dalam jarak yang lebih pendek dibandingkan saat mereka basah. Titik kritis akibat iklim makin hangat ini terjadi saat katak tak mampu melompat sama sekali, yakni terjadi ketika katak kehilangan 30 persen berat badan dan kodok kegilangan 45 persen.
Dampak pada jarak lompatan lebih terasa lagi ketika katak dan kodok yang mengalami dehidrasi saat ditempatkan di lingkungan yang lebih hangat dengan kondisi kontrol berkisar antara 15 hingga 30 derajat Celcius.
Peneliti mengungkapkan, berkurangnya kemampuan melompat pada katak dan kodok itu terjadi sebagai akibat gangguan dalam pertukaran ion dalam sel karena kehilangan air. Gangguan pertukaran ion juga bisa berdampak pada pengangkutan nutrisi dan pembuangan limbah pada jaringan.
Selain itu, kemampuan melompat juga dapat terjadi disebabkan darah mengental ketika dehidrasi, sehingga membuat jantung tegang serta aktivitas fisik yang dilakukan lebih melelahkan.
Dehidrasi pada hewan amfibi ini menjadi gambaran yang cukup menyedihkan. Temuan ini dianggap sangat berpengaruh dalam menghadapi krisis iklim di Bumi.
Bukan hanya katak dan kodok, ini juga dialami hewan berdarah dingin lainnya yang mengandalkan kondisi lingkungan yang stabil untuk mempertahankan kondisi fisik yang mendukung fungsi tubuh (homeostasis).
Penulis studi, Dan Greenberg dari Simon Fraser University, mengungkapkan, beberapa hewan mampu mengubah perilaku mereka saat lingkungan berubah. Namun, hanya sedikit yang dapat mengikuti perubahan iklim.
“Saat kita melihat air yang makin berkurang dan mempengaruhi suhu, itu benar-benar mengubah cara kita berpikir tentang bagaimana cara perubahan iklim akan mengatur ulang sistem ekologi di Bumi berabad-abad mendatang,” ungkap Dan Greenberg.