in

Keanekaragaman Hayati Indonesia Berpacu dengan Kepunahan

Ilustrasi lebah madu. Tujuh spesies lebah madu dunia ditemukan Indonesia, dua di antaranya endemik berstatus akan punah. Foto: Istockphoto

Negara Indonesia diklaim menjadi negara dengan kekayaan biodiversitas terestrial kedua di dunia. Bahkan jika digabung dengan keanekaragaman hayati di laut, Indonesia tertinggi di antara semua negara.

Peneliti Zoologi pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Rosichon Ubaidillah, mengatakan, status dan tren keanekaragaman hayati Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat agro biodiversitas dunia dengan 10 persen spesies dari total spesies tumbuhan dunia.

“Flora dan fauna di tujuh pulau utama Indonesia, yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Lesser Sunda, Mollucas, dan Papua sangat mendominasi. Jawa masih menjadi pulau tertinggi diversitas floranya. Hal ini karena eksplorasi banyak dilakukan di pulau Jawa,” ujar Rosichon seperti dikutip dari lipi.go.id, Sabtu (22/5/2021).

Rosichin menjelaskan keanekaragaman fauna dunia terdapat sekitar 12 persen di Indonesia atau sekitar 773 spesies. Ratusan spesies itu terbanyak ada di Kalimantan dan jenis spesies endemik terbanyak ada di Papua dan Sulawesi. Namun, status dan tren keberagaman fauna di Indonesia kian berpacu dengan arus kepunahan.

“Tujuh spesies lebah madu dunia yang ditemukan Indonesia, dua jenis di antaranya endemik, dan saat ini berstatus akan punah dan terancam. Tindakan harus segera diambil dalam rangka menyelamatkan biodiversitas tersebut,” bebernya.

Sementara itu peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, Dede Heri Yuli Yanto mengatakan, berdasarkan data Kehati Indonesia 2019, terdapat 2.273 spesies fungi yang telah diidentifikasi di Indonesia.

Jumlah itu, kata Dede, terhitung masih sangat sedikit yakni sekitar 1,9 persen dari fungsi yang ada di dunia. Indonesia diperkirakan memiliki 86 ribu spesies fungi dari 1,5 juta populasi dunia.

Di samping itu salah satu jamur yang diteliti LIPI, yakni White Root Fungi (WRF), memiliki potensi bioprospeksi sebagai bioproduk. Jamur itu dapat mendegradasi lignin menggunakan ligninolitik enzim dan dapat menghasilkan enzim selulase dan xilanase.

Ada banyak manfaat dari WRF. Dede mengatakan WRF mampu mendegradasi minyak mentah sehingga dapat mengatasi tumpahan atau cemaran minyak di laut.

Selain itu WRF yang telah diidentifikasi sangat potensial untuk menghasilkan enzim lakase dalam jumlah yang sangat tinggi sehingga mampu mendegradasi pewarna pada limbah tekstil.

“Saat ini yang perlu menjadi perhatian melakukan riset terpadu untuk mengungkap keanekaragaman hayati yang belum teridentifikasi. Kehilangan terus terjadi baik aktivitas manusia dan bencana alam seperti kebakaran hutan, penebangan liar dan eksploitasi hutan,” papar Dede.

Kepala kelompok Pusat Penemuan dan Pengembangan Obat, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Masteria Yunovilsa Putra mengatakan, penelitian biodiversitas tumbuhan dan organisme laut Indonesia layaknya perpustakaan besar untuk penemuan obat baru.

“Sekitar 70 persen wilayah lautan Indonesia merupakan sumber daya yang belum optimal dimanfaatkan. Lebih dari 100 senyawa laut telah diisolasi dari organisme laut, seperti spons, soft coral, tunicate, dan algae,” ujarnya.

Ia menjelaskan selama beberapa dekade terakhir para peneliti fokus pada penemuan obat dari herbal atau yang bersumber dari tumbuhan. Misalnya immunomodulator Covid-19 yang sudah diuji klinis dan dilaporkan ke BPOM.

“Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat agen terapeutik yang bisa dipasarkan. Dari 10.000 hingga 20.000 kandidat obat kemungkinan hanya dapat menghasilkan satu obat yang bisa dipasarkan,” jelas Masteria.

Lebih lanjut Masteria mengatakan sebagian besar kajian hasil alam laut Indonesia masih dilakukan oleh peneliti asing, atau bekerja sama dengan peneliti dalam negeri.

Oleh sebab itu ia menilai dukungan pemerintah, investasi dan keahlian riset sangat penting untuk menunjang penemuan produk alam laut terbaru oleh peneliti Indonesia.

“Tanpa mengetahui jumlah dan jenis organisme laut maupun darat, tidak ada cara untuk mengetahui apa yang berubah atau hilang dari perspektif keanekaragaman hayati,” timpal Masteria.