Google Doodle menampilkan sosok novelis zaman Pujangga Baru, Sariamin Ismail pada Sabtu (31/7/2021). Pada 31 Juli 112 tahun lalu, Sariamin Ismail lahir, tepatnya pada 31 Juli 1909 di Desa Sinurut, Kecamatan Talu, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
Dihimpun dari beberapa sumber, bakat menulis Sariamin sudah terlihat sejak duduk di sekolah guru perempuan Meisjes Normaal School Padangpanjang pada 1920-an. Karya-karyanya juga beragam. Ia menulis artikel di media massa, terutama Assaraq yang dipimpin Rustam Effendi dan Rasyid Manggis.
Sariamin menulis berbagai drama, di antaranya Adikku Misrani, Cermin Perbandingan, Dahulu dan Sekarang, Nasihat Kakak, Harapan Ibu, Jalan Mana yang akan Diturut, Si Malin Kundang, dan Puti Payung.
Namun, kumpulan sajaknya Mijn Vriendin (Sahabatku) tahun 1943 tak sempat terbit lantaran dirampas Jepang.
Sariamin sempat mengajar ke Bengkulu, namun pindah ke Talukkuantan (Riau) pada 1945, kemudian ke Pekanbaru tahun 1949. Di Pekanbaru, ia bertemu jodohnya yakni Ismail sehingga namanya menjadi Sariamin Ismail.
Perempuan ini tercatat aktif di berbagai organisasi di Pekanbaru. Sejak 1945, ia menjabat sebagai ketua Persatuan Kaum Ibu Riau (PKIR), Ketua Perwari, dan memimpin Yayasan Ibu Pekanbaru yang membawahi 14 organisasi.
Punya Banyak Nama Pena
Semasa hidupnya, Sariamin memiliki banyak nama pena, seperti Selasih, Ibu Sejati, Sri Gunung, Sri Tanjung, Sri Gunting, Sri Kejut, Gelinggang, Bundo Kandung, Mande Rabiah, Dahlia, dan Seleguri.
Namun, nama Sariamin paling dikenal khususnya ketika dipakai untuk dua karya romannya yang paling terkenal, Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937), terbitan Balai Pustaka.
Ada cerita menarik terkait nama Selasih tersebut. Beberapa bulan setelah roman Kalau Tak Untung terbit, salah seorang temannya menyindir Sariamin yang hanya bisa menulis dalam buku harian.
“Begitu, Min. Jadilah seperti Selasih, seorang gadis yang mampu menulis roman Kalau tak Untung. Tidak seperti engkau, hanya mengarang di dalam buku harian,” ungkap seorang temannya itu.
Mendengar perkataan temannya tersebut, Sariamin hanya menunduk dan diam seribu bahasa.
“Saat itu Ibu hanya berdiam diri, tetapi sangat bahagia. Roman Ibu ternyata diterima baik. Mereka tidak mengetahui bahwa Selasih adalah nama samaran Ibu,” ujar Sariamin alias Selasih kepada Harian Kompas tahun 1989 .
Memang, kala itu jumlah pengarah masih sangat sedikit, khususnya dari kalangan perempuan. Bahkan, Sariamin disebut menjadi novelis perempuan pertama Indonesia.
Setelah pensiun, Sariamin banyak mengisi hari-harinya dengan menghafal Alquran dan menanam tanaman hias. Pada 1980-an, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengunjunginya. Joesoef mendorongnya untuk menulis lagi dan berjanji menerbitkannya.
Pada tahun 1981-1986, dari tangannya lahirlah 21 buku fiksi dan Kamus Minangkabau. Sariamin kemudian tutup usia pada 15 Desember 1995 di Rumah Sakit Umum Pekanbaru, Riau, diusianya ke-86 tahun.