in

Tak Ada Warga Indonesia Pribumi, Ketahui Sejarah Penduduk RI

Ilustrasi penduduk Indonesia

Jejak genetika menunjukkan bahwa tidak ada manusia Indonesia modern yang murni atau asli. Hal ini menegaskan bahwa tak ada penduduk pribumi di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan peneliti genetika manusia dan evolusi Eijkman Institute, Pradiptajati Kusuma. Kesimpulan Eijkman menguatkan temuan sebelumnya pada pengetahuan arkeologi dan linguistik yang mengindikasikan bahwa nenek moyang orang-orang Indonesia adalah pendatang.

“Semua orang Indonesia merupakan migran (pendatang),” kata Pradiptajati Kusuma dalam wawancara dengan BBC News, akhir Juli 2021.

Studi genetika Eijkman Institute melibatkan 70 populasi etnik di 12 pulau di Indonesia. Studi membuktikan adanya pembauran beberapa leluhur genetik dari periode dan jalur berbeda.

Pradipta membeberkan, pencampuran genetika di Indonesia terkait erat dengan aktivitas migrasi orang-orang dari daratan Asia yang dimulai sekitar 50.000 tahun silam ke wilayah yang kini disebut Indonesia.

Pengembaraan manusia modern (Homo sapiens) ke Indonesia adalah bagian kisah epik para leluhur yang keluar dari Afrika (Out of Africa) ke seluruh dunia kira-kira 150.000 dan 200.000 tahun silam.

“Tidak hanya sekali (gelombang migrasi ke Indonesia), tapi berkali-kali,” tegasnya.

“Kompleks sebenarnya, cuma kita menggeneralisir kurang-lebih ada empat gelombang kedatangan,” lanjut Pradipta.

Sejak dahulu kala, wilayah Indonesia telah menjadi tempat manusia berlalu-lalang. Sebelum menuju Pasifik atau ke Australia, mereka melalui atau memilih menetap di Indonesia.

Gelombang pertama, sekira 50.000 tahun silam, melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda — Kalimantan, Sumatra dan Jawa masih menyatu — dan mengembara sampai Papua dan Australia. Pada masa itu, daratan Papua dan Australia masih menyatu yang disebut Paparan Sahul.

“Orang-orang yang ‘keluar dari Afrika’ adalah yang pertama kali datang, ke wilayah (yang sekarang disebut) Indonesia, yang mendiami Papua dan Australia,” ungkap Pradipta.

Gelombang kedua adalah orang-orang dari wilayah daratan Asia Tenggara sekitar 30.000-40.000 tahun lalu. Para ahli mengkategorikan para pengembara ini dalam kelompok bahasa Austronesia, seperti Vietnam, Kamboja dan sekitarnya.

“Mereka masuk ke Kalimantan, Sumatra, Jawa,” ungkap Pradip.

Kemudian, sekitar 5.000 atau 6.000 tahun lalu, gelombang ketiga berdatangan dari wilayah China selatan dan Formosa (kini disebut Taiwan). Menurut Pradipta, kaum imigran ini bergerak ke selatan, melalui Filipina, Kalimantan, Sulawesi, dan bergerak ke barat ke Sumatra dan ke Mentawai.

“Adapun yang bergerak ke timur, masuk ke Maluku, Papua bagian pantai, hingga mengembara ke Hawaii,” paparnya.

Selanjutnya, gelombang keempat, terjadi pada masa sejarah antara abad ketiga dan 13, yaitu ketika pedagang China, Arab dan India berdatangan ke wilayah yang kini disebut Indonesia.

“Sekarang jejak genetiknya (imigran gelombang kempat) sangat jelas, dan bisa kita lihat jejaknya di populasi-populasi yang ada di Indonesia,” ungkap Pradip.

Namun, timpal Pradipta, di antara gelombang kedua dan ketiga, serta antara gelombang ketiga dan keempat, masih ada pola migrasi yang disebutnya “masih misterius” hingga saat ini.

“Ini yang sedang kita dalami dengan pendekatan DNA purba dari bukti-bukti fosil sekian ribu tahun silam,” tandasnya.

Dalam perjalanannya, saat penyebarannya berlangsung di wilayah Indonesia, terjadilah pembauran antar manusia dengan latar perbedaan secara DNA.

Seperti terekam dalam acara kajian sains ‘Asal Usul Manusia Indonesia’ yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Eijkman Institute dan Historia.id, dua tahun silam, pembauran tersebut membuat komposisi gen ikut berubah, selain tampilan fisik, kebiasaan, bahasa dan bahasa.

Periode perubahan gen masyarakat Indonesia disebutkan berlangsung selama ribuan tahun. Selain hubungan pernikahan, perubahan tersebut disebabkan aspek lingkungan, kebiasaan, makanan, dan aneka jenis interaksi lainnya.

“Menariknya, gelombang migrasi yang baru datang beradaptasi dengan yang lama. Begitu pula yang lama juga menerima yang baru,” ujar Deputi Penelitian Fundamental Eijkman Institute, Herawati Supolo Sudoyo, dalam kesempatan tersebut.