in

Mengenal Elang Flores, Satwa yang Diselamatkan dari Kepunahan

Ilustrasi elang. Foto: Antara

Seekor Elang Flores melahirkan di Taman Nasional Gunung Rinjani pada Juli 2021. Anak satwa tersebut bernama Bhadra. Pasca kelahirannya, Balai TN Gunung Rinjani memasang CCTV di lokasi sarang untuk memantau perkembangan dan menjaga kelangsungan hidup Bhadra.

Hasil rekaman pantauan tersebut diunggah oleh Balai TN Gunung Rinjani melalui akun Instagram dan Youtube resmi mereka pada Senin (9/8/2021) lalu. Dalam video, tampak anak elang tersebut banyak bergerak dan bulu-bulu putih mulai menyelimuti badannya.

Berdasarkan hasil pantauan Balai TN Gunung Rinjani, tampak hal-hal menarik seperti induk yang selalu membawakan ranting berdaun segar hampir setiap hari ke sarang.

Ranting-ranting tersebut diduga berfungsi untuk menjaga kelembapan, kebersihan sarang dan suhu tubuh Bhadra agar tetap normal. Di mana sarang tersebut terletak pada cabang pohon tinggi yang terbuka dan tanpa perlindungan berarti.

Beberapa daun segar yang dibawa oleh sang induk juga tampak dikonsumsi oleh Bhadra demi kelancaran pencernaannya. Beberapa kali juga terlihat anak elang itu membuang kotoran di luar sarang.

Pada siang hari, anak raptor endemik yang dimiliki Indonesia tersebut lebih sering terlihat sendiri di sarangnya. Namun di malam hari, induk dan jantan akan kembali ke sarang setelah berburu makanan.

Ahli elang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Malia Prawiradilaga menjelaskan bahwa ciri fisik Elang Flores tidak jauh berbeda dengan saudaranya, Elang Brontok. Jika Elang Brontok memiliki bintik pada bagian dada, Elang Flores tidak.

Populasinya Makin Kritis

Burung pemangsa ini juga memiliki ukuran fisik yang besar yakni 71 hingga 82 centimeter. Tidak hanya di Flores, burung ini juga tersebar di Pulau Lombok, Sumbawa, Pulau Satonda, Rinca dan Pulau Komodo.

Awalnya Elang Flores masuk ke dalam anak jenis dari Elang Brontok, namun setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, Elang yang banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur ini memiliki klasifikasinya tersendiri.

“Kalau dulu kan dianggap masih anak jenis dari Elang Brontok tapi setelah kita cek morfologinya, dan genetiknya itu ternyata memang tidak sama dengan Elang Brontok. Jadi ada bedanya, kita pisahkan menjadi jenis tersendiri,” ujar Malia.

Populasi satwa endemik ini makin terancam akibat ulah perburuan yang tinggi. Data Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya sebagai jenis Kritis (Critically Endangered/CR) populasinya saat ini diperkirakan antara 100 hingga 240 individu dewasa.

Berdasarkan pengamatan Dewi Amalia, ia pernah menerima laporan bahwa ada perdagangan burung Elang di Jawa yang ciri-cirinya identik dengan Elang Flores. “Saya diberi tahu seperti itu, ada pemiliknya yang didapat dari orang lain lagi,” katanya.

Dewi menilai, ciri fisik Elang Flores yang gagah dan langka membuat para pemburu semakin masif mengincarnya, merenggutnya dari alam untuk dijadikan koleksi pribadi.

“Biasanya orang yang hobi memelihara burung atau satwa itu ada trigger. Kalau semakin langka binatang nya itu semakin diburu, berapa pun dia beli hanya untuk ego aja. Bahkan dijadikan ukuran status sosial,” jelasnya.

Ia menambahkan, kerusakan hutan juga menjadi faktor kelangkaan burung ini. Rusaknya hutan membuat Elang Flores kehilangan tempat berburu sehingga ia datang ke pemukiman penduduk untuk memburu ternak, dan dianggap hama.

“Penduduk kampung waktu saya tanya, karena mereka (Elang) suka ngambil anak babi untuk dimangsa. Jadi dianggapnya mengganggu,” jelas Dewi.

Dari segi perkembangbikannya, burung ini memiliki kelemahan biologis. Sekali berkembang biak, hanya bertelur satu butir. Proses perkembangbiakan pun hanya satu tahun sekali dan belum tentu telur berhasil ditetaskan. Sementara perawatan anaknya pun cukup lama.

“Dari sarang juga harus masih diasuh induknya, diajari mengenal mangsa, diajari berburu, diajarkan untuk membunuhnya gimana, jadi ada proses yang panjang,” beber Dewi.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga keberadaan Elang Flores. Menurut Dewi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi salah satu kuncinya. Mereka perlu terus menjaga hutan sebagai habitat yang ramah untuk elang, ekosistemnya harus terus diperbaiki.

Selain itu, harus ada penyuluhan di lapangan kepada masyarakat untuk membantu pengelola yang menjaga hutan, dan menekan perburuan.

“Elang Flores sebagai indikator lingkungan, kalau lingkungan yang sehat pasti ada Elangnya, ada pemangsanya, kalau yang sudah kacau, pemangsa hilang atau berpindah tempat,” papar Dewi.