in ,

Studi: Simpanse Savana Tunjukkan Proses Manusia Berevolusi

Cara simpanse Savana bertahan hidup disebut tunjukkan teori evolusi manusia dikaji. Foto: iStockphoto

Simpanse Savana disebut sebagai contoh model untuk memahami teori bagaimana manusia berevolusi. Seorang Profesor Serra Hunter dari Fakultas Psikologi Universitas Barcelona, Adriana Hernández melakukan penelitian secara bersama-sama dengan tim ahli primata internasional.

Tim meninjau perilaku dan ekologi simpanse savana untuk memahami bagaimana kera ini beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi ekstrem. Sebagian besar kera besar seperti bonobo, simpanse, gorila dan orangutan membutuhkan ekosistem hutan yang rimbun seperti di Afrika atau Asia Tenggara.

Kecuali beberapa kelompok simpanse yang hidup di Savana, habitat yang bercirikan suhu tinggi dan curah hujan musiman yang sangat rendah.

Menurut para peneliti, kondisi lingkungan di tempat-tempat ini akan mengarah pada jenis perilaku dan respons fisiologis tertentu pada simpanse ini.

Seperti misalnya beristirahat di gua atau menggali untuk mendapatkan air, prilaku yang tidak diamati pada simpanse lain yang hidup di kawasan berhutan, di mana mereka tidak menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrem.

“Studi tentang simpanse savana dan apa yang kami sebut efek savana lanskap memiliki implikasi penting untuk merekonstruksi perilaku hominis pertama yang hidup di habitat yang sama,” ungkap Adriana Hernández.

“Oleh karena itu, ini membantu kami untuk lebih memahami evolusi kita sendiri,” ujar Hernández dalam jurnal Evolutionary Anthropology, bersama dengan Stacy Lindshield, dari University of Purdue (Amerika Serikat) seperti dilansir Science Daily.

Simpanse (Pan troglodytes) Savana dianggap sebagai kerabat hidup evolusioner yang paling dekat dengan manusia. Mereka berbagi 98,7 persen DNA dengan manusia dan memiliki nenek moyang yang sama yang hidup antara 4,5 dan 6 juta tahun yang lalu.

Terlepas dari kedekatan tersebut, simpanse savana tidak memiliki beberapa sifat biologis dan budaya yang dimiliki manusia untuk beradaptasi dengan panas yang ekstrem.

Simpanse savana diketahui tidak memiliki banyak kelenjar keringat ekrin, mereka relatif kurang rambut dan tidak memiliki kemampuan untuk membuat artefak seperti wadah air dan topi matahari untuk mengurangi dehidrasi dari sengatan sinar matahari.

Simpanse yang hidup di savana secara taksonomi atau kategori tidak dapat dibedakan dari simpanse lain di satu spesies.

Atas alasan tersebut, perbandingan perilaku, morfologi, dan ekologi dengan simpanse yang hidup di lanskap yang lebih berhutan memberikan informasi kunci untuk hipotesis bagaimana manusia purba mungkin telah beradaptasi jutaan tahun yang lalu, sementara hutan Afrika sedang surut dan digantikan savana.

“Kami tahu bahwa hominin awal beradaptasi dengan lingkungan Savana yang mirip dengan yang ditempati oleh simpanse saat ini. Para peneliti berpikir bahwa kondisi savana menyebabkan adaptasi pada nenek moyang kita, seperti ekspansi otak atau toleransi terhadap suhu tinggi,” kata Hernández yang juga Co Direktur penelitian di Jane Goodall Institute Spanyol.

“Oleh karena itu, memahami bagaimana kerabat terdekat kita secara genetik beradaptasi dengan lingkungan kering, panas, musiman dan terbuka sangat mirip dengan tempat tinggal hominin awal, membantu kami membuat model bagaimana nenek moyang kita mungkin telah beradaptasi dan bagaimana ciri-cirinya mendefinisikan kita sebagai manusia mungkin telah muncul saat itu,” lanjutnya.

Simpanse yang tinggal di savana juga membutuhkan strategi untuk beradaptasi dengan suhu tinggi di sana. Di antara berbagai karakteristik simpanse savana yang dijelaskan dalam penelitian tersebut, strategi mereka untuk menghadapi suhu tinggi cukup menonjol.

“Memahami bagaimana mereka menangani panas dapat membantu kita lebih memahami strategi apa yang mungkin digunakan nenek moyang manusia untuk mengatasi suhu tinggi,” catat sang peneliti.

Contoh lain yang disoroti oleh peneliti adalah cara simpanse ini mencoba menghidrasi diri selama musim kemarau, seperti menggali air ketika sumber daya air berkurang menjadi hanya beberapa tempat di lanskap.

“Hominin awal juga harus berurusan dengan ketersediaan air yang rendah selama sebagian tahun,” tambah Hernández.

Studi tersebut juga menegaskan bahwa kelompok sosial simpanse savana di area luar yang punya luas sekitar 100 km persegi berbeda dengan simpanse yang hidup di area berhutan dengan luas kisaran antara 3 sampai 30 km.

Namun, meskipun ukuran kelompok serupa di habitat yang berbeda, simpanse di savana memiliki kepadatan populasi yang jauh lebih rendah, yang dapat dijelaskan oleh rendahnya ketersediaan makanan di habitat.

Kontribusi penting lainnya dari penelitian simpanse tersebut adalah membantu untuk memahami potensi efek perubahan iklim pada spesies.

Hernandez menyebut adaptasi simpanse savana ke iklim ekstrim dapat membantu kita memodelkan bagaimana simpanse di hutan dapat beradaptasi dengan perubahan tentang proyek studi iklim akan membuat lingkungan mereka lebih kering dan lebih hangat.

Penelitian dianggap penting karena simpanse ini dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah, sedangkan subspesies di Afrika Barat (Pan troglodytes verus) tergolong sangat terancam punah.

Dalam hal ini, para peneliti menyerukan penelitian lebih lanjut tentang aspek biologis dan budaya yang mendasari pengaruh lingkungan savana.