in

Pesawat NASA Capai Matahari: Sebuah Pencapaian Baru Manusia

Ilustrasi pesawat menjelajahi Matahari. Foto: NASA

Pesawat ruang angkasa NASA telah mencapai Matahari, terbang melalui atmosfer bagian luar inti tata surya yang belum dijelajahi, dikenal sebagai korona. Hal ini disebut sebagai sebuah pencapaian baru bagi umat manusia, seperti saat manusia berhasil mendarat di Bulan.

Penjelajah Parker Solar Probe yang diluncurkan pada 2018 telah melakukan tujuh kali terbang ke Matahari sebelum akhirnya dapat masuk ke wilayah korona. Parker Solar Probe terbang melalui korona pada April lalu dalam misi mendekati Matahari yang kedelapan.

Dalam misi tersebut, pesawat melakukan tiga perjalanan ke atmosfer Matahari, salah satunya berlangsung selama 5 jam.

Di bagian atmosfer luar Matahari, di mana suhu rata-rata sekitar 2 juta derajat Fahrenheit, pesawat ruang angkasa mengumpulkan partikel atmosfer dalam instrumen khusus yang disebut Solar Probe Cup.

Peneliti yang terlibat dalam misi tersebut mengatakan bahwa dengan memasuki dan mengambil sampel dari atmosfer Matahari, Parker Solar Probe mencapai tingkatan penelitian yang mirip dengan misi pendaratan di bulan.

“Bayangkan diri Anda duduk di pantai dan menatap lautan bertanya-tanya apa yang ada di bawah permukaan,” kata Nicola Fox, Direktur Divisi Heliofisika Sains di markas besar NASA, dikutip dari Live Science.

“Ini pada dasarnya adalah apa yang telah dilakukan para ilmuwan selama beberapa dekade, bertanya-tanya tentang misteri apa yang ada di korona matahari,” lanjut Fox.

Berselang tiga tahun setelah peluncuran Parker Solar Probe, mereka akhirnya bisa mencapai tempat tersebut.

PLT Kepala Pusat Riset Antariksa Emanuel Sungging Mumpuni menyebut apa yang dilakukan NASA ini adalah sebuah penelitian penting, seraya mengaitkannya dengan misi pendaratan di Bulan.

“Penting sekali, karena untuk pertama kalinya, manusia dapat melihat sampai ke wilayah yang sangat dekat dengan permukaan Matahari, ini bisa diibaratkan ketika pertama kali bisa mendarat di Bulan, maka ini seolah ketika manusia bisa mendarat di Matahari,” katanya  dikutip dari CNN, Senin (20/12/2021).

Misi mendekati Matahari dilakukan salah satunya untuk memahami tentang angin surya yang dapat memberi dampak pada kondisi ruang angkasa.

Angin matahari yang kuat terbuat dari plasma dan partikel berenergi tinggi yang tumbuh di korona, tetapi sebagian besar ditahan oleh medan magnet Matahari, yang juga menahan semburan plasma yang menyembur dari permukaan Matahari.

Ketika angin Matahari melebihi kecepatan tertentu dan meluas melewati atmosfer Matahari, ada sebuah lokasi yang dikenal sebagai titik Alfvén yang dapat melepaskan diri dari penahan medan magnet. Namun, para ilmuwan tidak tahu persis di mana titik itu berada.

Parker Solar Probe disebut telah menjawab pertanyaan itu. Perkiraan sebelumnya berdasarkan gambar jarak jauh korona memperkirakan bahwa titik Alfvén akan ditemukan sekitar 4,3 juta hingga 8,6 juta mil (6,9 juta hingga 13,8 juta kilometer) dari permukaan Matahari.

Namun pada 28 April Parker mendeteksi titik Alfvén berada pada jarak sekitar 8,1 juta mil (13 juta kilometer) di atas Matahari.

Emanuel menyebut penelitian tentang angin surya ini dapat memberi informasi lebih detail tentang wilayah tersebut, karena sebelumnya penelitian tentang ini hanya sebatas model teoritis dan gambaran jarak jauh.

“Sehingga apabila kita bisa masuk ke wilayah tersebut, bisa memperoleh informasi lebih detil tentang kondisi apa yang terjadi di wilayah tersebut,” katanya.

“Komponen material apa saja yang ada di sana, mekanismenya bagaimana, sehingga bisa menyebabkan terjadinya angin surya,” imbuhnya.

Kemudian penemuan tersebut nantinya dapat dimanfaatkan untuk banyak hal, salah satunya penguatan satelit. Pasalnya satelit yang berada di angkasa luar sangat bergantung pada kondisi angkasa luar, seperti terpaan angin surya.

“Teknologi modern kita itu , seperti satelit, sangat bergantung kondisi di luar angkasa, termasuk pengaruh angin surya, kl kondisi lagi ekstrim, itu bisa menyebabkan gangguan pada satelit,” jelasnya.