Baru-baru ini, ditemukan pohon raksasa dari genus Lophopetalum dalam famili Celastraceae di wilayah Sumatra. Pohon ini dilaporkan tumbuh sampai 40 meter dengan diameter batang hingga 1,05 meter.
Temuan tersebut diungkap oleh tim peneliti dari Institut Penelitian Lingkungan Universitas Singapura. Hasil penelitian terkait telah diterbitkan di jurnal Phytotaxa pada 17 November 2022.
Agusti Randi, salah satu peneliti mengungkapkan bahwa dalam famili Celastraceae, tribe Lophopetaleae termasuk tiga genera paleotropis dengan biji bersayap yang tidak memiliki aril atau salut biji: Kokoona, Lophopetalum dan Peripterygia.
“Genus terbesar adalah Lophopetalum dengan 19 spesies yang ditentukan oleh permukaan bagian dalam kelopak dengan berbagai pelengkap (oleh karena itu nama generik dari bahasa Yunani untuk lambang: lopho-), serta bunga biseksual 5-merous dengan benang sari yang dimasukkan pada cakram, ovarium 3-lokular, dan buah kapsuler 3-sudut dengan sayap yang mengelilingi biji,” tutur Agusti Randi, dikutip dari Scinews, Jumat (25/11/2022).
Randi juga menyebut genus ini berkerabat dengan Kokoona, tetapi memiliki sedikit perbedaan. Pohon ini berbagi buah bersudut 3 dan biji bersayap, dan Kokoona memiliki biji yang menempel di pangkal dan sayap apical.
Pohon Lophopetalum yang tersebar dari India hingga Australia diketahui memiliki spesies paling beragam di Malesia yakni wilayah ekologi di sekitar ASEAN bagian barat.
“Lophopetalum tersebar dari India hingga Australia utara tetapi keanekaragaman spesies berpusat di Malesia barat, dan tujuh dari 19 spesies yang diterima telah dilaporkan dari pulau Sumatera di Indonesia, tetapi semuanya berupa perluasan dari spesies yang dideskripsikan dari bahan dari Kalimantan, India atau Semenanjung Malaysia,” jelas para peneliti.
Spesies pohon raksasa yang baru ditemukan di Sumatra ini diberi nama Lophopetalum tanahgambut. Sebab spesies baru ini hanya diketahui dari hutan rawa gambut di pulau Sumatera, Indonesia.
“Hutan rawa gambut dikenal dengan keunikannya yang miskin unsur hara, kaya karbon, dan kondisi basah yang memerlukan adaptasi khusus untuk bertahan hidup,” jelas para peneliti.
“Habitat ini, bagaimanapun, masih dipelajari dengan kurang baik dan telah mengalami konversi ekstensif menjadi pertanian dengan hanya 11 persen dari hutan rawa yang tersisa dan tidak terganggu serta dengan area lain yang terdegradasi dan masih mengalami konversi menjadi pertanian,” lanjutnya.