Melihat nama Google sebagai mesin pencari default di mana pun bukan hal aneh. Namun, siapa sangka ada harga mahal yang harus dibayar raksasa teknologi ini demi menjadi mesin telusur default di Firefox, Safari, dan platform lainnya. Hal ini terungkap usai dilakukannya trial kasus antimonopoli yang melibatkan Departemen Kehakiman AS dan Google.
Diketahui memang Google mempertahankan kekuatan monopolinya dalam pencariaan di internet dan memanfaatkan dominasi tersebut utnuk mengalahkan pesaing. Nilai yang dibayar tak main-main, tahun 2021 saja Google membayar USD26,3 miliar atau sekitar Rp413 triliun demi bisa menjadi mesin pencari default di berbagai web browser dan ponsel.
Angka tersebut merupakan jumlah total kesepakatan yang terungkap usai dilakukan penyelidikan terhadap Vice President Google, Prabhakar Raghavan. Yang kemudian membawa informasi sampai kehadapan publik.
Sebuah laporan yang dipublikaskan The New York Time menyebut bahwa kesepakatan Google untuk menjadi mesin pencari default di Safari bahkan merugikan perusahaan sekitar USD18 miliar pada tahun 2021. Google juga membayar Mozilla untuk menempatkannya sebagai mesin telusur di Firefox. Hal yang sama dilakukan kepada platfrom lainnya.
Menurut Departemen Kehakiman AS, cara Google membayar demi mendapat status default search engine merupakan cara untuk memastikan pasar agar tidak kompetitif
Sebagai informasi tambahan, The Verge melaporkan bahwa Alphabet, induk perusahan Google mengumumkan laporan pendapatannya dari bisnis iklan Google Search yang menghasilkan USD44 miliar selama tiga bulan terakhir dan USD165 miliar tahun lalu. Seluruh bisnis iklannya menghasilkan laba sekitar USD90 miliar. Ini berarti setidaknya, Google menyerahkan 16 persen pendapatan dari Google Search dan 29 persen profitnya untuk kesepakatan tersebut.