in

Mengapa Lidah Manusia Suka oleh Sensasi Makanan Pedas?

Ilustrasi. Foto: Freepik

Makanan pedas, dengan beragam kuliner pedas Nusantara seperti ayam geprek atau mi pedas, selalu memiliki pesona tersendiri. Meski tidak semua orang menyukai sensasi pedas, namun tak sedikit manusia yang menikmati makanan berbumbu cabai ini. Sensasi kepedasan yang membuat mata dan hidung berair seringkali menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmat makanan pedas.

Pertanyaan mendasar muncul: mengapa manusia begitu menyukai makanan pedas? Apa daya tarik di balik sensasi terbakar setelah mengonsumsi makanan yang mengandung cabai atau bumbu pedas lainnya? Jawabannya melibatkan interaksi kompleks antara reaksi tubuh dan zat kimia tertentu yang terkandung dalam cabai.

Sebuah penelitian menyatakan bahwa sensasi pedas sebenarnya adalah hasil dari zat kimia bernama capsaicin, yang ditemukan dalam cabai. Capsaicin menjadi pemicu utama kepedasan dan membuat mulut terasa terbakar. Meski pada awalnya, reaksi tubuh terhadap kepedasan dapat diinterpretasikan sebagai sakit yang luar biasa, sebenarnya sebagian besar orang justru merasa ketagihan.

Ilustrasi. Foto: Freepik

Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya dapat ditemukan dalam peran hormon adrenalin. Ketika manusia mengonsumsi makanan pedas, sinyal yang dikirim ke otak memberitahukan bahwa mulut terbakar adalah pertanda bahaya. Sebagai responnya, otak melepaskan hormon adrenalin. Hormon ini kemudian memicu reaksi lainnya, seperti peningkatan detak jantung dan pembesaran pupil mata.

Adrenalin, yang juga merupakan endorfin alami, memiliki efek pereda nyeri alami dan dapat menimbulkan perasaan bahagia. Inilah yang membuat banyak orang kembali lagi pada makanan pedas, seolah-olah merasakan pengalaman kepedasan sebagai bentuk kelezatan tersendiri.

Menariknya, jejak kecintaan manusia pada makanan pedas telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Manusia sudah mulai menanam cabai dan berbagai spesiesnya lebih dari 6.000 tahun yang lalu. Namun pada masa itu, belum banyak penelitian ilmiah yang menggali kandungan cabai dan efeknya pada tubuh manusia.

Pepper X. Credit image: Guinness World Records
Pepper X, cabai terpedas. Credit image: Guinness World Records

Perkembangan penelitian terhadap cabai mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19, ketika peneliti menemukan bahwa saraf nyeri dapat mendeteksi capsaicin, senyawa kimia yang menjadi kunci utama rasa pedas pada cabai. Capsaicin sendiri terutama terasa pada biji cabai. Melalui penelitian lebih lanjut, bahkan manusia berhasil mengembangkan varietas cabai yang lebih dari 300 kali lebih pedas dari cabai jalapeno, yang pada saat itu dianggap salah satu cabai terpedas di dunia.

Capsaicin, sebagai senyawa penyebab rasa pedas, memiliki sifat hidrofobik. Artinya, capsaicin tidak larut dalam udara, tetapi mudah larut dalam lemak dan minyak. Sifat ini menjelaskan mengapa produk pedas seperti susu full cream atau roti yang dapat menyerap minyak seringkali dianggap sebagai cara efektif untuk mengurangi kepedasan setelah mengonsumsi makanan. Ketika seseorang mengonsumsi cabai, capsaicin berikatan dengan air liur atau air liur dan kemudian berinteraksi dengan reseptor TRV1.

Reseptor TRV1 yang terdapat di mulut dan lidah, sebenarnya berfungsi untuk mendeteksi sensasi panas atau terbakar. Saat capsaicin berikatan dengan reseptor ini, sinyal palsu dikirim ke otak, membuat otak percaya bahwa mulut sedang mengalami pembakaran. Meskipun sebenarnya tidak ada pembakaran yang terjadi, inilah yang menciptakan sensasi panas atau terbakar saat mengonsumsi cabai.

Keunikan makanan pedas tidak hanya terletak pada rasa kepedasannya, tetapi juga pada kaya akan sejarah dan ilmu pengetahuan di baliknya. Kecintaan manusia pada makanan pedas tidak hanya sekedar tren kuliner, namun juga menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya dan sejarah kuliner manusia. Dengan memahami lebih jauh interaksi kompleks antara zat kimia, reaksi tubuh, dan durasi sejarah, kita dapat lebih menghargai kenikmatan yang tersembunyi dalam setiap gigitan makanan pedas yang kita nikmati.