in

Menilik Konsep ‘Love Language’ dari Segi Ilmiah, Benarkah Akurat?

Pasangan. Foto: Freepik

Istilah love language atau bahasa cinta sedang memenuhi berbagai platform media sosial. Banyak klaim yang mengusung lima cara mengomunikasikan cinta ini sangat akurat dalam membangun hubungan yang baik. Tapi, meski banyak klaim bertebaran, sebenarnya bagaimana sains memandang konsep ini? Benarkah seakurat yang digembar-gemborkan?

Sebelumnya, perlu diketahui soal jenis, pengertian, serta darimana asal-usul teori bahasa cinta ini. Setidaknya, ada lima jenis love language yang ada, di antaranya adalah physical touch, words of affirmations, quality time, receiving gifts, dan act of service. Mengutip dari laman BBC Science Focus, teori ini awalnya diciptakan oleh konselor asal Amerika, Gary Chapman. Chapman menegaskan bahwa ada lima bahasa yang digunakan pasangan untuk mengekspresikan dan mengomunikasikan perasaan cinta mereka.

Ilustrasi. Foto: Freepik

Lewat gagasannya, Chapman menegaskan bahwa bisa timbul masalah jika pasangan tidak berkomunikasi dalam bahasa cinta yang sama. Tapi, teori ini diperkenalkan oleh Chapman pada 1992 silam. Lalu, di masa sekarang, masihkan teori ini bisa dibuktikan?

Dr. Martin Graff, seorang psikolog akademis yang mempelajari psikologi hubungan romantis memberikan sedikit jawabannya. Menurut Graff, memang jika menilai teori ini secara intuitif, tampak masuk akal. Apalagi hal ini juga diperkuat dengan barang satu atau dua penelitian yang memberikan pembenaran terhadap keseluruhan gagasan. Hanya saja tidak banyak dukungan ilmiah atas gagasan tersebut.

“Tidak ada bukti psikologis yang menunjukkan bahwa love language benar-benar ada,” kata Dr Martin Graff.

Meski gagasan Chapman soal lima bahasa cinta tak memiliki banyak dukungan bukti, namun Graff mengatakan bahwa dalam teori tentang perilaku hubungan manusia justru menujukkan ada beberapa bahasa cinta. Mulai dari tiga, enam hingga tujuh bahasa.

Meski sedikit membenarkan gagasan Chapman, teori ini juga kontradiktif. Pasalnya, teori, lebih lanjut menyebut sangat kecil kemungkinan kita hanya memiliki satu preferensi bahasa cinta tertentu. Sebab, terkadang pada prakteknya, seseorang bisa menginginkan sentuhan fisik (physical touch), tetapi pada kondisi lain ia mungkin lebih menginginkan waktu berkualitas (quality time) bersama pasangan.

Apalagi, hal ini pernah juga dibuktikan dalam sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2013. Penelitian ini mengajak partisipan untuk memilih bahasa cinta yang menurut mereka paling sesuai dengan diri mereka sendiri. Lalu, mereka juga diminta menjawab serangkaian pertanyaan yang dirancang untuk mengetahui preferensi mereka terhadap setiap kategori bahasa cinta.

Ilustrasi pasangan bahagia. Foto: Freepik

Secara mengejutkan, penelitian justu menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan signifikan antara bahasa yang orang sebut lebih mereka sukai dengan jawaban mereka. Misalnya, partisipan menjawab bahasa cinta mereka adalah physical touch, tetapi jawaban pertanyaan mereka lebih condong ke bahasa receiving gift atau menerima hadiah dari pasangan.

Penelitian lain soal bahasa cinta juga menemukan hasil tak signifikan mengenai bagaimana bahasa cinta memengaruhi hubungan antarpasangan. Penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa berbagi bahasa cinta yang sama tidak selalu berarti seseorang akan lebih bahagia dalam hubungannya.

Menariknya, kebahagiaan dalam hubungan justru bukan soal kesamaan bahasa cinta, tetapi, soal nilai-nilai hidup yang serupa. Menurut penelitian, jika pasangan berbenturan dalam hal nilai-nilai hidup atau cara menangani konflik masing-masing sangat berbeda, maka kecil kemungkinan mereka memiliki kepuasan hubungan yang baik.

“Kita tahu bahwa pasangan romantis yang memiliki kesamaan dalam nilai-nilai inti dan hal-hal seperti pandangan etis, pandangan politik, atau cara mereka membesarkan anak, misalnya, cenderung lebih cocok,” kata Graff menutup pernyataanya.